BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada masyarakat negara yang sedang
berkembang seperti halnya Indonesia terutama pada kota-kota metropolitan,
sangat memperhatikan sekali kesehatan ususnya, jumlah informasi dan kecemasan
terhadap kesehatan usus dan pemenuhan kebutuhan eleminasi lebih banyak daripada
topik kesehatan yang lainya.
Dalam makalah ini kami melatar
belakangi bahwa pentingnya mengetahui pengetahuan tentang peran dan fungsi
perawat. Maka dari itu kami akan menguraikan semua hal tersebut dalam makalah
yang berjudul “Patogenesis dan Patopisiologi
Gangguan Pemenuhan Eleminasi Fecal”
1.2 Tujuan Umum
Agar mahasiswa mengetahui ganguan dalam pemenuhan
eleminasi fecal
1.3 Tujuan Khusus
Agar mahasiswa dapat mengetahui
tentang :
·
Pengertian Eliminasi Fekal
·
Gangguan Eliminasi Fekal
·
Masalah-masalah Pada Gangguan Eliminasi
·
Etiologi Penyebab Gangguan Eliminasi Fekal
·
Faktor pencetus gangguan eliminasi fekal
·
Patofisiologi
·
Gangguan Eliminasi Fekal
·
Tanda dan Gejala
·
Pemeriksaan Penunjang
·
Karakteristik Fases
1.4 Sistematika Penulisan
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
1.2. Tujuan
1.3. Sistematika
Penulisan
BAB
II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Eliminasi Fekal
2.2. Gangguan Eliminasi Fekal
2.3. Masalah-masalah Pada Gangguan Eliminasi
2.4. Etiologi Penyebab Gangguan Eliminasi
Fekal
2.5. Faktor pencetus gangguan eliminasi fekal
2.6. Patofisiologi Gangguan Eliminasi
Fekal
2.7. Tanda dan Gejala
2.8. Pemeriksaan Penunjang
2.9. Karakteristik
Fases
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik
berupa urin atau bowel (feses). Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih
bila kandung kemih terisi. Sistem tubuh yang berperan dalam terjadinya proses
eliminasi urine adalah ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Proses
ini terjadi dari dua langkah utama yaitu : Kandung kemih secara progresif
terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai ambang, yang
kemudian mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks saraf yang disebut
refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau
jika ini gagal, setidak-tidaknya menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk
berkemih. Meskipun refleks miksi adalah refleks autonomik medula spinalis,
refleks ini bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau
batang otak.
Kandung
kemih dipersarafi araf saraf sakral (S-2) dan (S-3). Saraf sensori dari kandung
kemih dikirim ke medula spinalis (S-2) sampai (S-4) kemudian diteruskan ke
pusat miksi pada susunan saraf pusat. Pusat miksi mengirim signal pada kandung
kemih untuk berkontraksi. Pada saat destrusor berkontraksi spinter interna
berelaksasi dan spinter eksternal dibawah kontol kesadaran akan berperan,
apakah mau miksi atau ditahan. Pada saat miksi abdominal berkontraksi
meningkatkan kontraksi otot kandung kemih, biasanya tidak lebih 10 ml urine
tersisa dalam kandung kemih yang diusebut urine residu. Pada eliminasi urine
normal sangat tergantung pada individu, biasanya miksi setelah bekerja, makan
atau bangun tidur., Normal miksi sehari 5 kali.
Defekasi
adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel
movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa
kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi
setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon
sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi
sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Eliminasi
yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk fungsi tubuh yang
normal. Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan masalah pada
gastrointestinal dan bagian tubuh yang lain. Karena fungsi usus tergantung pada
keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan masing-masing orang
berbeda. Klien sering meminta pertolongan dari perawat untuk memelihara
kebiasaan eliminasi yang normal. Keadaan sakit dapat menghindari mereka sesuai
dengan program yang teratur. Mereka menjadi tidak mempunyai kemampuan fisik
untuk menggunakan fasilitas toilet yang normal ; lingkungan rumah bisa
menghadirkan hambatan untuk klien dengan perubahan mobilitas, perubahan
kebutuhan peralatan kamar mandi. Untuk menangani masalah eliminasi klien,
perawata harus mengerti proses eliminasi yang normal dan faktor-faktor yang
mempengaruhi eliminasi
2.2. Gangguan Eliminasi Fekal
Gangguan eliminasi
fekal adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko tinggi
mengalami statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar, keras,
feses kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan
huknah, baik huknah tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat
melalui anus sampai ke kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.
2.3. Masalah-masalah Pada Gangguan Eliminasi
a.
Konstipasi, merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi BAB
disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan. BAB yang
keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada
di intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap.
b.
Impaction, merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga tumpukan
feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan
feses sampai pada kolon sigmoid.
c.
Diare, merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk. Isi
intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon
merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa.
Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan
menahan BAB.
d. Inkontinensia
fecal, yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB
encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter
anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal
eksternal. Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB
tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien tergantung pada perawat.
e. Flatulens,
yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang dan
distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar melalui mulut
(sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus
adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan
di usus yang menghasilkan CO2.
f. Hemoroid,
yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa internal atau
eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung
dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding
pembuluh darah teregang. Jika terjadi infla-masi dan pengerasan, maka pasien
merasa panas dan gatal. Kadang-kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat
BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami konstipasi.
2.4. Etiologi Penyebab Gangguan Eliminasi
Fekal
a.
Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna:
Makanan adalah
faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses. Cukupnya selulosa, serat pada
makanan, penting untuk memperbesar volume feses. Makanan tertentu pada beberapa orang
sulit atau tidak bisa dicerna. Ketidak mampuan ini berdampak pada
gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makan yang
teratur mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur dapat
mengganggu
keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari
mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan
keteraturan pola aktivitas peristaltik di colon.
b. Cairan
Pemasukan cairan
juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika pemasukan cairan yang adekuat ataupun
pengeluaran (cth: urine, muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh
melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang
colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses
yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalanan
chyme di sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan reabsorbsi cairan
dari chyme
c. Meningkatnya
stress psikologi
Dapat dilihat
bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit-penyakit tertentu termasuk
diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa jadi mempunyai komponen
psikologi. Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau marah dapat
meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang
yagn depresi bisa memperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada
konstipasi
d. Kurang
aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.
Pada
pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak peristaltic dan
dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum dalam waktu lama dan terjadi
reabsorpsi cairan feses sehingga feses mengeras
e. Obat-obatan
Beberapa obat
memiliki efek samping yang dapat berpengeruh terhadap eliminasi yang normal.
Beberapa menyebabkan diare; yang lain seperti dosis yang besar dari
tranquilizer tertentu dan diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan codein,
menyebabkan konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi.
Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan memudahkan eliminasi
feses. Obat-obatan ini melunakkan feses, mempermudah defekasi. Obat-obatan
tertentu seperti dicyclomine hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas
peristaltik dan kadang-kadang digunakan untuk mengobati diare
f. Usia; Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik
feses, tapi juga pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya
sampai sistem neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 – 3 tahun. Orang
dewasajuga mengalami perubahan pengalaman yang dapat mempengaruhi proses
pengosongan lambung. Di antaranya adalah atony (berkurangnya tonus otot
yang normal) dari otot-otot polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya
peristaltik dan mengerasnya (mengering) feses, dan menurunnya tonus dari
otot-otot perut yagn juga menurunkan tekanan selama proses pengosongan lambung.
Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol terhadap muskulus
spinkter ani yang dapat berdampak pada proses defekasi.
g. Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus,
kecelakaan pada spinal cord dan tumor.Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat
menurunkan stimulus sensori untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa membatasi
kemampuan klien untuk merespon terhadap keinginan defekasi ketika dia tidak
dapat menemukan toilet atau mendapat bantuan. Akibatnya, klien bisa mengalami
konstipasi. Atau seorang klien bisa mengalami fecal inkontinentia karena
sangat berkurangnya fungsi dari spinkter ani.
2.5. Faktor
pencetus gangguan eliminasi fekal
1. Respon keinginan awal untuk defekasi.
Beberapa
masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon awal
untuk defekasi. Akibatnya feses menjadi mengeras karena terlalu lama di rectum
dan terjadi reabsorbsi cairan.
2.Gaya
hidup.
Banyak
segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi defekasi.
Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat mempengaruhi frekuensi
eliminasi dan defekasi. Praktek eliminasi keluarga dapat mempengaruhi tingkah
laku.
2.6.
Patofisiologi
Gangguan
Eliminasi Fekal
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal
ini juga disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat
bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya
feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong
feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang
dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi
biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi instrinsik. Ketika
feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu signal
yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik
pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan
feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal
interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks
defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang,
signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan kemudian kembali ke kolon
desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini
meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan
meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet
atau bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma
yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator
ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi
normal dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut
dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks
defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan
mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi
secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan
feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses menjadi keras dan terjadi
konstipasi.
2.7. Tanda dan Gejala
Tanda Gangguan Eliminasi
Fekal
a. Konstipasi
Konstipasi bukan merupakan suatu
penyakit, melainkan suatu keluhan yang muncul akibat kelainan fungsi dari kolon
dan anorektal. Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi dari
kebiasaan normal. Pengertian ini dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang,
jumlah feses yang kurang, konsistensinya keras dan kering. Obstipasi bersinonim
dengan konstipasi.
1).
Menurunnya frekuensi BAB
2).
Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
3).
Nyeri rektum
Definisi kontipasi bersifat
relatif, tergantung pada konsistensi tinja, frekuensi buang air besar dan
kesulitan keluarnya tinja. Pada anak normal yang hanya berak setiap 2-3 hari
dengan tinja yang lunak tanpa kesulitan, bukan disebut konstipasi. Konstipasi
adalah persepsi gangguan buang air besar berupa berkurangnya frekuensi buang
air besar, sensasi tidak puasnya buang air besar, terdapat rasa sakit, harus
mengejan atau feses keras.
Konstipasi berarti bahwa
perjalanan tinja melalui kolon dan rektum mengalami penghambatan dan biasanya
disertai kesulitan defekasi (sujono).Disebut konstipasi bila tinja yang keluar
jumlahnya hanya sedikit, keras, kering, dan gerakan usus hanya terjadi kurang
dari 3 x dalam 1 mnggu.
Kriteria baku untuk menentukan
ada tidaknya konstipasi telah ditetapkan, meliputi minimal 2 keluhan dari
beberapa keluhan berikut yang diderita penderita minimal 25 % selama minimal 3
bulan : (1) tinja yang keras, (2) mengejan pada saat defekasi, (3) perasaan
kurang puas setelah defekasi, dan (4) defekasi hanya 2 x atau kurang dalam
seminggu.
Pada tahun 1999 Komite Konsensus
Internasional telah membuat suatu pedoman untuk membuat diagnosis konstipasi.
Diagnosis dibuat berdasar adanya keluhan paling sedikit 2 dari beberapa keluhan
berikut, minimal dalam waktu 1 tahun tanpa pemakaian laksans (kriteria Roma
II), yaitu (Whitehead 1999) : (1) defekasi kurang dari 3x/minggu, (2) mengejan
berlebihan minimal 25 % selama defekasi, (3) perasaan tidak puas berdefekasi
minimal 25 % selama defekasi, (4) tinja yang keras minmal 25 %, (5) perasaan
defekasi yang terhalang, dan (6) penggunaan jari untuk usaha evakuasi tinja.11
b. Diare
Diare adalah BAB lebih dari
tiga dengan konsistensi cair (WHO, 1992). Diare
adalah buang air besar konsistensi lembek /cair bahkan dapat berupa air saja
yang frekuensinya lebih sering dari biasanya ( biasanya 3 kali atau lebih dalam
sehari). Jenis diare sbb
1). BAB sering
dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk
2). Isi
intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
3).
Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan
sekresi mukosa.
4).
feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.
Jenis-jenis diare sbb:
1.
Menurut
perjalanan penyakit :
Ø Akut : jika kurang dari 1
minggu
Ø Berkepanjangan : jika antara 1
minggu sampai 14 hari
Ø Kronis : jika > 14 hari dan
disebabkan oleh non infeksi
Ø Persisten : Jika >14 hari
dan disebabkan oleh infeksi
2.
Menurut
patofisiologi :
Ø . Gangguan absorbsi
Ø . Gangguan sekresi
Ø . Gangguan osmotik
3.
Menurut
penyebab :
Ø Infeksi : Virus, bakteri,
parasit,jamur
Ø Konstitusi
Ø Malabsorbsi
4.
Diare dengan masalah lain. Anak yang menderita
diare mungkin juga disertai dengan penyakit lain, seperti : demam, gangguan
gizi atau penyakit lainnya.
Penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa
faktor:
1. Infeksi
1.Infeksi entral : ialah infeksi saluran
pencernaan makanan yang merupakan penyebab diare pada anak meliputi infeksi
interal sebagai berkut :
·
Infeksi bakteri: vibrio, E. coli,
Salmonella, Sigela, Campylobakteri, Yersenia, Aerromonas dan sebagainya..
·
Infeksi virus : Entro virus, adenovirus,
Rotavirus, Astovirus dll.
·
Infeksi parasit : Cacing protozoa dan
jamur.
1.
Infeksi Parentral ialah ineksi diluar alat pencernaan makan seperti otitis
media akut (OMA) tonsillitis/ Tonsiloparingitis, bronkhopnemonia , encepalitis
dsb. Keadaan ini terutama tedapat pada anak kurang dari 2 tahun
2. Faktor Malabsorsi
a. Malabsorisi karbohidrat
b. Malabsorsi lemak
c. Malabsorsi Protein
3. Faktor makanan: Makanan basi, beracun
alergi terhadap makanan.
4. Psikologis : rasa takut dan cemas
2.8. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan
USG
2. Pemeriksaan
foto rontgen
3. Pemeriksaan
laboratorium feses
2.9.
Karakteristik Fases
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Eliminasi adalah proses
pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin atau bowel (feses). Miksi
adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi. Sistem tubuh
yang berperan dalam terjadinya proses eliminasi urine adalah ginjal, ureter,
kandung kemih, dan uretra.
Obstipasi bukan merupakan suatu
penyakit, melainkan suatu keluhan yang muncul akibat kelainan fungsi dari kolon
dan anorektal. Obstipasi
atau sembelit adalah terhambatnya defekasi dari kebiasaan normal.
Diare adalah BAB lebih dari
tiga dengan konsistensi cair (WHO, 1992)
Diare adalah buang air besar konsistensi lembek /cair
bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (
biasanya 3 kali atau lebih dalam sehari)
B.
Saran
Semoga dengan
selesainya makalah ini diharapkan agar para pembaca khususnya mahasiswa Akper Pemda Cianjur dapat lebih mengetahui dan memahami tentang gangguan pemenuhan eleminasi fecal, obstipasi dan diare. Dan dapat
mengaplikasikannya dalam dunia keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ganong, wiliam F.1999. Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta.
Watson, Roger. 2002. Anatomi dan Fisiologi. EGC. Jakarta
Pearce,
Evelyn. 2000. Anatomi dan Fisiologi untuk
Paramedis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Comenta